Minggu, 16 Oktober 2011

ASKEP DIFTERI 'penyakit heboh saat ini'



 I.     PENGERTIAN

Difteri adalah : suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae, disertai terbentuknya pseudomembran pada mukosa dan/atau kulit. (Panitia Medik Farmasi dan Therapy, 1994)

Difteria ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Crynobacterium diphteriae.(Mansjoer, A.2000).
Terdapat 3 jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk:
  1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabuan yang meliputi daerah yang terkena. Terdiri dari fibrin, leukosit, jairangan nekrotik, dan basil.
  2. Eksotoksin yang sangat panas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan syaraf.
Sedangkan menurut Yuliani dan Suriadi (2001) difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh coryneobacterium dipteriae yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.
Klasifikasi Diphteri berdasarkan berat ringannya penyakit menurut Mansjoer, A (2000) adalah sebagai berikut :
a. Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausal dengan gejala hanya nyeri menelan.
b.Infeksi sedang
Pseudoemembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
c. Infeksi berat
Disertai gejala sumabtan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplkikasi miokarditis, paralisis ataupun nefritis dapat menyertainya.

II.  ETIOLOGI
Corynebacterium diphteriae (basil Klebs Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.(Nelson)

III. MANIFESTASI KLINIK
Masa tunas dipteri antara 2-7 hari. Gejala klinis diphteri dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala lain biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf atau nefritis.(Staf Pengajar IKA FKUI, 1985)
Dalam buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi (1994) gejala klinis yang terjadi merupakan kumpulan gejala dari berbagai lokasi, sebagai akibat kerja kuman, toksin dan penyulit.
Menurut Mansjoer, A (Kapita Selekta Kedokteran, 2000) manifestasi klinis difteri dibagi menjadi :
a.   Difteri Hidung
Pilek dengan secret bercampur darah. Gejala konstitusi ringan.
b.  Difteri Faring dan tonsil (fausal)
Terdapat radang akut tenggorok, demam sampai 38,5ºC, takikardi, tampak lemah, napas berbau, timbul pembengkakan kelenjar regional(bull neck). Membran berwarna putih, abu-abu kotor, atau abu kehijauan dengan tepi sedikit terangkat. Bila membran terangkat akan timbul perdarahan. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan karena mempercepat penyerapan toksin.
c.   Difteri Laring
Jenis yang terberat, terdapat afonia, sesak, stridor inspirasi, demam sampai 40ºC, sangat lemah, sianosis, bull neck.

d.  Difteri kutaneus dan vaginal
Lesi ulseratif dengan pembentukan membran. Lesi persisiten dan sering terdapat anastesi.
Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie (1965) dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak (1985) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilikus.
Sedangkan menurut Yuliani dan Suriadi (2001) gejala diphteri ditandai dengan khas adanya pseudomembran.

IV.   PATOFISIOLOGI
Terlampir

V.      DIAGNOSA BANDING
Difteri fausia harus dibedakan dengan :
a.     Tonsilitis folikularis atau lakunaris
                Anak menderita difteri apabila panas tidak terlalu tinggi, tampak lemah dan terdapat membran putih. Faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
b.    Angina Plaut Vincent
           Membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisimorfis (gram positif) dan spirila (gram negatif).
c.     Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksioza
                Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Ciri khas penyakit ini yaitu terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
d.    Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukimia)
             Mungkin ditemukan ulkus membranosa pada faring dan tonsil.
Dalam buku Staf Pengajar IKA FKUI, 1985 difteria laring harus dibedakan dengan laringitis akula, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak.
Sedangkan dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi (1994) ada tiga diagnosis banding, yaitu:
a.     Difteri hidung
Benda asing, influenza, sinusitis, adenoiditis atau “bindeng” pada sifilis konginetal.
b.    Difteri Faring
Tonsilitis membranus akut oleh karena sterptokokkus, tonsilitis membraneus nonj bakteri, mononukleosis infeksiosa, tonsilitis herpetika, stoamtitis, moniliasis, leukimia.
c.     Difteri Laring
‘Croup’ infeksiosa, ‘croup’ spasmodik, benda asing, sembab angioneurotik.

VI.   PENATALAKSANAAN
Pengobatan dipteri ada dua macam, yaitu :
a. Pengobatan umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tampat tidur, isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemerikasaan EKG setiap minggu.
b.    Pengobatan spesifik
1.    Anti Diphteria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desensitiasi dengan cara Besredka.
2.    Antibiotika. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari bebas panas. Pada penderita dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.
3.    Kortikosteroid. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednison 2 mg/kgbb/hari selama 3 minggu kemudian dihentikan secara bertahap.
Penderita difteria dirawat selama 3-4 minggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi karena tindakan ini pada difteria laring dengan sumbatan jalan anfas akan menyelamatkan jiwa penderita.
(Staf Pengajar IKA FKUI (1985)
Sedangkan menurut Panitia Medik Farmasi dan Therapy (1994), pengobatannya yaitu dengan :
a.     Farmakologis
1.      Antitoksin : Serum Anti Difteri (ADS)
a)        Difteri Ringan (hidung, mata, kulit) : 20.000 KI IM
b)        Difteri Sedang (tonsil,laring) : 40.000 KI IV secara tetesan
c)        Difteri Berat (disertai penyulit) : 100.000 KI IV secara tetesan
ADS diberikan sekaligus setelah uji kulit/konjungtiva negatif. Bila uji kulit positif, ADS dapat diberikan secara bertahap (Besredka)
2.      Antimikroba
a)        Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/24 jam IM, 1-2 kali sehari selama 10 hari
b)        Bila alergi terhadapa pinisilin maka diberikan Eritromisin 50 mg/kg/24 jam (maksimal 1 gram) oral, 3-4 kali sehari, selama 10 hari
3.      Kortikosteroid
Diberikan bila terdapat gejala obstruksi saluran nafas atas. Pada penderita dengan penyulit pada jantung perlu dipertimbangkan.
4.      Bila ada komplikasi paresis otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin Bί 100 mg setiap hari, 10 ahri berturut-turut.(Mansjoer, A.2000)



b.    Perawatan
1.        Umum
a)      Tirah baring mutlak selama 10-14 ahri. Pada miokarditis, tirah baring selama 4-6 minggu
b)      Beri cukup cairan dan kalori
c)      Makanan lunak dan mudah dicerna
d)     Pada penderita gawat, mungkin perlu diberi cairan per infus
2.        Khusus
a)      Sumbatan jalan nafas
Pemberian udara yang dilembabkan dan zat asam akan sangat membantu. Bila perlu dilakukan trakeostomi.
b)      Gangguan saraf perifer
Gangguan ini bersiat reversibel dan tidak memerlukan pengobatan khusus. Pada kelumpuhan palatum molle dan otot faring, perlu dipasang sonda lambung untuk mencegah aspirasi
c)      Penanggung penyulit
(1)     Miokarditis, renjatan
(2)     Gagal ginjal akut
(3)     Gangguan syaraf umum
c.     Kontak dan Pengidap
1.        Kontak dengan biakan kuman negatif, tanpa gejala, diberi imunisasi. Kontak gejala, tanpa menunggu hasil biakan kuman, perlu dirawat dan diobati sebagai penderita difteri.
2.        Pengidap, setelah mendapat penisilin prokain 600.000 KI/hari atau eritomisin 50 mg/kg/hari selama 5 hari, perlu biakan kuman negatif.
Pengobatan difteri terdiri atas netralisasi toksin bebas dan pemberantasan C. Diphteriae, dengan antibiotika. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah antitoksin yang berasal dari kuda. Ini sebaiknya diberikan berdasarkan tempat membran berada, derajat toksisitas dan lamanya penyakit.(Nelson)
Sedangkan pencegahan difteri menurut Mansjoer, A (Kapita Selekta Kedokteran, 2000) adalah sebagai berikut :
a.         Isolasi penderita
Penderita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak tedapat lagi C. Diphteriae 2 kali berturut-turut
b.        Imunisasi (DPT/DT)
c.         Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria.
Hal ini dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C. Diphteriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
Menurut Yuliani dan Suriadi (2001) penatalaksanaan terapiutiknya meliputi :
a.         Pemberian oksigen
b.        Terapi cairan
c.         Perawatan isolasi
d.        Pemberian antibniotik sesuai program
VII.KOMPLIKASI
Menurut Staf Pengajar IKA FKUI (1985) komplikasi difteri adalah :
A.      Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan ateletaksis paru
B.     Kardiovaskuler
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini
C.     Urogenital
Dapat terjadi nefritis
D.    Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami kompliaksi yang mengenai sistem susunan syaraf terutama sistem motorik.
Paralisis/parese dapat berupa :
1.      Paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan. Sifatnya reversibel dan terjadi pada minggu kesatu dan kedua.
2.      Paralisis/paresis otot-otot mata (minggu III), sehingga dapat mengakibatkan strabimus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu ketiga.
3.      Paralisis umum (setelah minggu IV), yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
E.     Neuritis (Yuliani dan Suriadi, 2001)
F.      Syndroma Guillain-Barre (Panitia Medik Farmasi dan Terapi, 1994)

VIII. PENATALAKSANAAN PERAWATAN
A.        Pengkajian
1.      Biodata
2.      Riwayat Keperawatan
a.       Riwayat terkena penyakit infeksi
b.      Status imunisasi
3.      Kaji tanda-tanda pada nasal, tonsil/faring dan laring
B.         Diagnosa
1.      Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
2.      Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
3.      Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
4.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang
C.         Perencanaan
1.      Diagnosa I         : Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Perencanaan      : Anak akan menunjukkan tanda-tanda jalan naas efektif
2.      Diagnosa II       : Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
Perencanaan      : Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
3.      Diagnosa III      : Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
Perencanaan      : Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
4.      Diagnosa IV      : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang
Perencanaan      : Anak akan mempertahankan keseimbangan cairan
  




2 komentar:

  1. sumber bakterinya dari mana..??? kok g dijelasin juga.. dari binatang atau dari mana gthu..??/

    BalasHapus
  2. itu disebabkan oleh Bakteri Corynebacterium diphteriae,bakteri anaerob " gram positif". penularannya jika kontak fisik langsung dengan penderita difteri atau mbisa juga melalui sekresi pernafasan aerosol dari individu yg terinfeksi.

    BalasHapus