Terdapat 3 jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan
intermedius. Basil dapat membentuk:
- Pseudomembran yang sukar diangkat,
mudah berdarah, dan berwarna putih keabuan yang meliputi daerah yang
terkena. Terdiri dari fibrin, leukosit, jairangan nekrotik, dan basil.
- Eksotoksin yang sangat panas dan
dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan
gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal,
dan jaringan syaraf.
Sedangkan menurut Yuliani dan Suriadi (2001) difteri
adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh coryneobacterium dipteriae
yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan lesi lain
dari orang yang terinfeksi.
Klasifikasi Diphteri berdasarkan berat ringannya
penyakit menurut Mansjoer, A (2000) adalah sebagai berikut :
a.
Infeksi
ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausal dengan gejala
hanya nyeri menelan.
b.Infeksi sedang
Pseudoemembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior
faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan
konservatif.
c.
Infeksi
berat
Disertai gejala sumabtan jalan nafas yang berat,
yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplkikasi
miokarditis, paralisis ataupun nefritis dapat menyertainya.
II. ETIOLOGI
Corynebacterium diphteriae (basil Klebs Loeffler)
merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk
spora dan berbentuk batang pleomorfis.(Nelson)
III. MANIFESTASI
KLINIK
Masa tunas dipteri antara 2-7
hari. Gejala klinis diphteri dapat dibagi menjadi
gejala umum dan gejala lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang
terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat,
nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali.
Gejala lain biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang
terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak stridor,
sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena
seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf atau nefritis.(Staf Pengajar IKA
FKUI, 1985)
Dalam buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi (1994) gejala
klinis yang terjadi merupakan kumpulan gejala dari berbagai lokasi, sebagai
akibat kerja kuman, toksin dan penyulit.
Menurut Mansjoer, A (Kapita Selekta Kedokteran, 2000)
manifestasi klinis difteri dibagi menjadi :
a.
Difteri
Hidung
Pilek dengan secret bercampur darah. Gejala konstitusi ringan.
b. Difteri Faring dan tonsil (fausal)
Terdapat radang akut tenggorok, demam sampai 38,5ºC,
takikardi, tampak lemah, napas berbau, timbul pembengkakan kelenjar
regional(bull neck). Membran berwarna putih, abu-abu kotor, atau abu kehijauan
dengan tepi sedikit terangkat. Bila membran terangkat akan timbul perdarahan.
Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan karena mempercepat penyerapan toksin.
c.
Difteri
Laring
Jenis yang terberat, terdapat
afonia, sesak, stridor inspirasi, demam sampai 40ºC, sangat lemah, sianosis,
bull neck.
d. Difteri kutaneus dan
vaginal
Lesi ulseratif dengan
pembentukan membran. Lesi persisiten dan sering terdapat anastesi.
Merupakan keadaan yang sangat
jarang sekali terdapat. Tan Eng Tie (1965) dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
(1985) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman
difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilikus.
Sedangkan menurut Yuliani dan
Suriadi (2001) gejala diphteri ditandai dengan khas adanya pseudomembran.
IV.
PATOFISIOLOGI
Terlampir
V.
DIAGNOSA BANDING
Difteri fausia harus dibedakan dengan :
a. Tonsilitis
folikularis atau lakunaris
Anak menderita difteri
apabila panas tidak terlalu tinggi, tampak lemah dan terdapat membran putih. Faring dan tonsil tampak hiperemis dengan
membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya
terdapat pada tonsil saja.
b. Angina Plaut Vincent
Membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah
berdarah. Sediaan langsung
akan menunjukkan kuman fisimorfis (gram positif) dan spirila (gram negatif).
c.
Infeksi
tenggorok oleh mononukleosus infeksioza
Terdapat
kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan
kelenjar umum. Ciri khas penyakit ini yaitu terdapat peningkatan monosit dalam
darah tepi.
d.
Blood
dyscrasia (misal agranulositosis dan leukimia)
Mungkin
ditemukan ulkus membranosa pada faring dan tonsil.
Dalam buku Staf Pengajar IKA FKUI, 1985 difteria laring harus
dibedakan dengan laringitis akula, laringotrakeitis, laringitis membranosa
(dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang
semuanya akan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak.
Sedangkan dalam buku
Pedoman Diagnosis dan Terapi (1994) ada tiga diagnosis banding, yaitu:
a.
Difteri
hidung
Benda asing, influenza, sinusitis, adenoiditis atau “bindeng” pada
sifilis konginetal.
b.
Difteri
Faring
Tonsilitis membranus akut oleh karena sterptokokkus, tonsilitis
membraneus nonj bakteri, mononukleosis infeksiosa, tonsilitis herpetika,
stoamtitis, moniliasis, leukimia.
c.
Difteri
Laring
‘Croup’ infeksiosa, ‘croup’ spasmodik, benda asing, sembab
angioneurotik.
VI.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan dipteri ada dua macam, yaitu :
a. Pengobatan umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak
di tampat tidur, isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan
timbulnya komplikasi antara lain pemerikasaan EKG setiap minggu.
b. Pengobatan spesifik
1. Anti Diphteria Serum
(ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata penderita peka terhadap
serum tersebut, maka harus dilakukan desensitiasi dengan cara Besredka.
2. Antibiotika. Di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta diberikan penisilin prokain 50.000
U/kgbb/hari bebas panas. Pada penderita dilakukan trakeostomi, ditambahkan
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid. Obat
ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
berbahaya. Dapat diberikan prednison 2 mg/kgbb/hari selama 3 minggu kemudian
dihentikan secara bertahap.
Penderita difteria dirawat selama 3-4 minggu. Bila
terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi karena
tindakan ini pada difteria laring dengan sumbatan jalan anfas akan
menyelamatkan jiwa penderita.
(Staf Pengajar IKA FKUI (1985)
Sedangkan menurut
Panitia Medik Farmasi dan Therapy (1994), pengobatannya yaitu dengan :
a.
Farmakologis
1.
Antitoksin
: Serum Anti Difteri (ADS)
a)
Difteri Ringan (hidung, mata, kulit) : 20.000 KI
IM
b)
Difteri Sedang (tonsil,laring) : 40.000 KI IV
secara tetesan
c)
Difteri Berat (disertai penyulit) : 100.000 KI IV
secara tetesan
ADS diberikan sekaligus
setelah uji kulit/konjungtiva negatif. Bila uji kulit positif, ADS dapat
diberikan secara bertahap (Besredka)
2. Antimikroba
a)
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/24 jam IM,
1-2 kali sehari selama 10 hari
b)
Bila alergi terhadapa pinisilin maka diberikan
Eritromisin 50 mg/kg/24 jam (maksimal 1 gram) oral, 3-4 kali sehari, selama 10
hari
3. Kortikosteroid
Diberikan bila terdapat gejala
obstruksi saluran nafas atas. Pada penderita dengan penyulit pada jantung perlu
dipertimbangkan.
4. Bila ada komplikasi
paresis otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin Bί 100 mg setiap hari,
10 ahri berturut-turut.(Mansjoer, A.2000)
b. Perawatan
1.
Umum
a) Tirah baring mutlak
selama 10-14 ahri. Pada miokarditis, tirah baring selama 4-6 minggu
b) Beri cukup cairan dan
kalori
c) Makanan lunak dan
mudah dicerna
d) Pada penderita gawat,
mungkin perlu diberi cairan per infus
2.
Khusus
a) Sumbatan jalan nafas
Pemberian udara yang dilembabkan dan zat asam akan
sangat membantu. Bila perlu dilakukan trakeostomi.
b) Gangguan saraf
perifer
Gangguan ini bersiat reversibel dan tidak
memerlukan pengobatan khusus. Pada kelumpuhan palatum molle dan otot faring,
perlu dipasang sonda lambung untuk mencegah aspirasi
c) Penanggung penyulit
(1) Miokarditis, renjatan
(2) Gagal ginjal akut
(3) Gangguan syaraf umum
c. Kontak dan Pengidap
1.
Kontak dengan biakan kuman negatif, tanpa gejala,
diberi imunisasi. Kontak gejala, tanpa menunggu hasil biakan kuman, perlu dirawat
dan diobati sebagai penderita difteri.
2.
Pengidap, setelah mendapat penisilin prokain
600.000 KI/hari atau eritomisin 50 mg/kg/hari selama 5 hari, perlu biakan kuman
negatif.
Pengobatan difteri terdiri
atas netralisasi toksin bebas dan pemberantasan C. Diphteriae, dengan
antibiotika. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah antitoksin yang berasal
dari kuda. Ini sebaiknya diberikan berdasarkan tempat membran berada, derajat toksisitas
dan lamanya penyakit.(Nelson)
Sedangkan pencegahan difteri
menurut Mansjoer, A (Kapita Selekta Kedokteran, 2000) adalah sebagai berikut :
a.
Isolasi penderita
Penderita difteria harus
diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak tedapat lagi C. Diphteriae 2 kali berturut-turut
b.
Imunisasi (DPT/DT)
c.
Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria.
Hal ini dilakukan dengan uji
Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah
mendapat imunisasi), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata
ditemukan C. Diphteriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan
tonsilektomi.
Menurut Yuliani dan
Suriadi (2001) penatalaksanaan terapiutiknya meliputi :
a.
Pemberian
oksigen
b.
Terapi
cairan
c.
Perawatan
isolasi
d.
Pemberian
antibniotik sesuai program
VII.KOMPLIKASI
Menurut Staf Pengajar IKA FKUI (1985) komplikasi
difteri adalah :
A. Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan
segala akibatnya, bronkopneumonia dan ateletaksis paru
B. Kardiovaskuler
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman
penyakit ini
C. Urogenital
Dapat terjadi nefritis
D. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita
difteria akan mengalami kompliaksi yang mengenai sistem susunan syaraf terutama
sistem motorik.
Paralisis/parese dapat berupa
:
1. Paralisis/paresis
palatum mole (minggu I dan II), sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan.
Sifatnya reversibel dan terjadi pada minggu kesatu dan kedua.
2. Paralisis/paresis
otot-otot mata (minggu III), sehingga dapat mengakibatkan strabimus, gangguan
akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu ketiga.
3. Paralisis umum (setelah
minggu IV), yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai
otot muka, leher, anggota gerak dan paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.
E. Neuritis (Yuliani dan
Suriadi, 2001)
F. Syndroma
Guillain-Barre (Panitia Medik Farmasi dan Terapi, 1994)
VIII.
PENATALAKSANAAN PERAWATAN
A.
Pengkajian
1. Biodata
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat terkena
penyakit infeksi
b. Status imunisasi
3. Kaji tanda-tanda pada
nasal, tonsil/faring dan laring
B.
Diagnosa
1. Tidak efektifnya
kebersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
2. Resiko penyebarluasan
infeksi berhubungan dengan organisme virulen
3. Resiko kurangnya
volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake
cairan menurun)
4. Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang
C.
Perencanaan
1. Diagnosa I : Tidak efektifnya kebersihan jalan
nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Perencanaan :
Anak akan menunjukkan tanda-tanda jalan naas efektif
2. Diagnosa II : Resiko penyebarluasan infeksi
berhubungan dengan organisme virulen
Perencanaan :
Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
3. Diagnosa III : Resiko kurangnya volume cairan
berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan
menurun)
Perencanaan :
Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
4. Diagnosa IV : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang
Perencanaan :
Anak akan mempertahankan keseimbangan cairan