Bab
1
Pendahuluan
1.1
Latar belakang
Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah
penderita laki- laki lebih besar dibandinhgkan penderita wanita. Meskipun
demikian, bila kaum wanita mengalaminya, maka penderitaanya akan lebih parah
dibandingkan kaum pria. Gejala- gejala autisme mulai tampak sejak masa yang
paling awal dalam kehidupan mereka. Gejala- gejala tersebut tampak ketika bayi
menolak sentuhan orang tuanya, tidak merespon kehadiran orang tuanya, dan
melakukan kebiasaan- kebiasaan lainya yang tidak dilakukan oleh bayi- bayi pada
umumnya.
Ketika
memasuki umur dimana mereka seharusnya mulai mengucapkan beberapa kata,
misalnya ayah, ibu, dan seterusnya, balita tidak mampu melakukannya. Di samping
itu, ia juga megalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan yang
lainnya. Inilah waktu yang tepat bagi orang tua untuk mulai menyadari bahwa ada
kelainan yang dialami anak mereka.
Biasanya
balita tersebut sudah mengalami keterlambatan perkembangan kemampuan selama 3
tahun ketika dikonsultasikan ke dokter oleh orang tuanya karena mengalami
gejala- gejala autisme sampai kemudian dia didiagnosis mengidap autisme oleh
dokter tersebut, dan diagnosis ini umum diberikan ketika balita itu sudah
memasuki umur 5 tahun. Usia dari seseorang anak juga berpengaruh terhadap tingkat
keparahan yang tampak dari gangguan itu.
Bila
mengevaluasi kebiasaan penderita autisme, kita juga harus mempertimbangkan usia
mereka. Pada usia 2- 5 tahun, mereka cenderung memiliki kebiasaan yang sangat
buruk, tetapi tatkala menginjak usia 6- 10 tahun, perilaku mereka akan membaik.
Tetapi, perilaku mereka akan cenderung memburuk kembali saat mereka memasuki
usia remaja serta dewasa, dan selanjutnya akan kembali membaik seiring dengan
bertambah tuanya usia mereka.
Sebagian besar penderita autisme mengalami gejala- gejala negatif
skizofrenia, seperti menarik diri dari
lingkungan, serta lemah dalam berpikir ketika menginjak dewasa.
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa
autisme itu ?
2.
Apa
penyebab autis ?
3.
Faktor
resiko apa yang akan muncul ?
4.
Apa
sajakah terapi autisme ?
5.
Bagaimana
pandangan dan terapi autisme menurut islam ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui
apa autisme itu
2.
Menganalisis
apa penyebab autisme
3.
Mengobservasi
faktor resiko yang akan timbul
4.
Mengerti
beberapa terapi untuk autisme
5.
Meninjau
pandangan islam tentang dan bagaimana terapi autisme
1.4 Manfaat
1.
Agar
mahasiswa dapat mengetahui autisme
2.
Agar
mahasiswa dapat memberikan terapi secara medis dan islami
Bab II
PEMBAHASAN
2.1 Apa itu Autisme
Autisme adalah
gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah
timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak
mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak
berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak
autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi
secara verbal.Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti
berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan
lain sebagainya.
Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku
hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka
cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum
(menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau
marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme
juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.Oleh karena banyaknya
perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini
gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum
Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna
kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah.
Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada
pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika,
menggambar).
Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari
tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu
autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan
sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum
ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme.
Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih
banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1
2.2 Penyebab autis pada anak
Orangtua yang punya anak
autis sering
dibayangi terus menerus oleh pertanyaan ‘kenapa harus anak saya?’. Meski banyak
kemungkinan seorang anak terkena autis, tapi banyak orang tua yang tidak terima
anaknya menderita autis.
“Beberapa orang tua terus mencari
tahu jawaban pertanyaan tersebut dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya,
tapi mereka tetap tidak terima anaknya terkena autis,” ujar Patricia
Robinson,terapis ADHD, autis dan Asperger’s sindrom seperti dilansir CNN, Senin
(8/2/2010).
Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun
penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda
dan mengucapkan kata pada umur 1 tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung
melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan
menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.Ia mulai berpikir, apakah
pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau
radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi
autis.
“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan
sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama
hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya
seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat
wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi.
Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri
bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka
juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil
adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr
Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya
tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan
organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan
yang sering terlintas pada benak orang tua.
Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center
for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri
menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah
dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu
penyebab pastinya.
“Banyak orang tua yang terbangun tengah malam dan terus mencari
tahu jawaban untuk teka-teki yang sebenarnya tidak perlu mereka cari tahu.
Cukup menerimanya dengan lapang dada bisa menghilangkan pertanyaan yang terus
menghantui tersebut,” kata Dr Judith.
Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau
kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang
menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.
Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan
anak autis. Namun faktor genetik, lingkungan yang terpapar merkuri atau
logam berat, pestisida atau antibiotik yang berlebihan diduga sebagai
penyebabnya.
2.3
Intervensi
dini
Apakah autisme dapat disembuhkan? Pertanyaan ini selalu dilontarkan
oleh orang tua penyandang. Autisme merupakan gangguan neurobiologis yang
menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi, dan
perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala-
gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi sampai awam tidak bisa membedakan mana
anak autis, mana anak autis.
Semakin dini terdiagnosis
dan terintervensi semakin besar kesempatan untuk “sembuh”. Penyandang autisme
dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak ketara lagi sehingga ia mampu hidup dan
berbaur secara normal dalam masyuarakat luas. Namun gejala yang ada pada setiap
anak sangat bervariasi, dari yang terberat sampai teringan. “ Kesembuhan”
dipengaruhi oleh berbagai faktor : gejalanya ringan, kecerdasan cukup (50 %
lebih penyandang autisme mempunyai kecerdasan kurang), cukup cepat dalam
belajar berbicara (20 % penyandang autisme tetap tidak bisa berbicara sampai
dewasa), usia (2-5 tahun), dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan
intensif.
Tidak jarang seorang penyandang
autisme sangat ringan dengan taraf kecerdasan normal dapat mengalami
perkembangan yang baik tanpa terapi apapun. Saat dewasa, ia tidak berbeda
dengan teman- temanya yang tidak autistik.
Intervensi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Yang penting,
berusaha merangasanganak secara intensif sedini mungkin pada usia 2- 5 tahun,
sehingga ia mampu keluar dari “dunia” nya.
2.4
Pola penanaganan terpadu
Penanganan terpadu harus secepat mungkin dilaksanakan
bila diagnosis autisme sudah terbentuk.
Meskipun kelalailan yang ada diotak tidak
dapat disembuhkan, namun dengan pola penanganan terpadu dan intensif, gejala-
gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga diharapkan bisa
berbaur dan hidup mandiri dengan masyarakat normal.
Keberhasilan
terapi tergantung dari beberapa faktor :
Berat
atau ringannya gejala
Umur
Kecerdasan
Bicara
dan berbahasa
Intensitas
dan terapi
Berbagai jenis jenis terapi yang
harus dijalankan secara terpadu mencakup :
ü Terapi medikamentosa
ü Terapi wicara
ü Terapi perilaku
ü Pendidikan khusus
ü Terapi okupasi (bila perlu)
Setiap anak sebaiknya mendapatkan evaluasi yang lengkap dari
dokter dan para terapisnya, kemudian
diberikan kurikulum indivdual berdasarkan kemampuan anak dalam setiap
bidangnya.
Namun, terapi perilaku harus tetap diterapkan disamping terapi-
terapi yang lain. Karena bila perilaku anak tidak sesuai dengan norma
masyarakat, ia akan sulit diterima di masyarakat secara normal.
A.
Terapi medikamentosa
Dahulu, sebelum penyebab gangguan autisme diketahui, pengobatan pun
agak sulit dan simpang siur. Obat- obatan yang dipakai lebih banyak ditujukan
untuk menekan gejala- gejala tertentu saja, misalnya menekan hiperaktivitas
yang ada, menekan agresivitas yang bisa membahayakan dirinya maupun orang
disekitarnya, mengobati gejala- gejala tambahan seperti kejang dsb.
Saat ini, pengobatan lebih tertuju
untuk mencoba memperbaiki komunikasi, memperbaiki komunikasi, memperbaiki
respons terhadap lingkungan dan menghilangkan perilaku yang aneh dan
diulang-ulang. Namun, karena gangguan yang terjadi itu didalam otak, maka obat-
obatan yang dipakai tentusaja obat- obatan yang bekerja di otak, yaitu yang
sering di pakai oleh psikiater.
Obat- obat yang ada di indonesia adalah dari jenis anti depresan
SSRI (Selectiv Serotonim Reuptake Inhibator) dan benzodiazepin seperti misalnya
fluexetine (prozae), sertralin (zoloft) dan risperidon
(risperdal). Risperdal menunjukkan efek yang sangat baik, dimana dalam dosis
kecilpun ia bisa secara efektif memperbaiki respon anak terhadap lingkungan.
Namun, obat- obat lamapun seperti haloperidol, imipramin (trofanil), dan
thioridazine (melleril) masih bisa dipakai.
B.
TERAPI WICARA
Terapi wicara
adalah suatu keharusan autisme, karena semua penyandang autisme mempunyai
keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan
anak lain. Terapi sebaiknya dibekali dengan pengetahuan yang cukup mendalam
tentang gejala-gejala dan gangguan bicara yang khas dari para penyandang
autisme.
C.
TERAPI PERILAKU
Berbagai jenis terapi perilaku telah
dikembangkan untuk mendidik penyandang autisme, mengurangi perilaku yang tidak
lazim, dan menggantinya dengan perilaku yang bisa di terima dengan masyarakat.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para penyandang
autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masnyarakat. Bukan saja
gurunya yang bisa melakukan terapi perilaku pada saat belajar, namun setiap
anggota keluarga dirumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi
penyandang.
D.
PENDIDIKAN KHUSUS
Pendidikan khusus adalah pendidikan individual yang terstruktur
bagi para penyandang autisme. Pada
pendidikan khusus, diterapakan sistem satu guru untuk satu anak. Sistem ini
paling efektif karena mereka tak mungkin dapat memusatkan perhatiannya dalam
suatu kelas yang besar.
Untuk penyandang autisme yang ringan sebaiknya di sekolahkan ke
kelompok bermain atau STK normal, dengan harapan anak bisa belajar
bersosialisasi. Untuk penyandang sedang atau berat sebaiknya di berikan
pendidikan individual dahulu, setelah mengalami kemajuan secara bertahap ia
bisa dicoba di masukkan kedalam kelas dengan kelompok kecil, misalnya 2-5 anak
perkelas.
Setelah lebih maju lagi, baru anak ini di coba di masukkan kedalam
kelompok bermain atau STK kelas normal. Namun sebaiknya, jenis terapi yang lain
terus dilanjutkan.
E.
TERAPI OKUPASI
Sebagian penyandang autisme mempunyai perkembangan motorik yang kurang
baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila di banding dengan anak-anak
lain seumurnya. Anak-anak ini perlu di beri bantuan terapi okupasi untuk
membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot halusnya bisa
terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting dikuatkan dan dilatih
supaya bisa anak menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan
otot jari tangannya.
2.5 Penanganan autisme
menurut islam
Penangana autisme menurut islam, bisa dengan menggunakan surat-
surat pendek dalam AL QURAN. Khususnya surat AL-FATIHA.
·
Autis pada anak
dengan terapi surat AL FATIHAH
Surat
surat pada AL QUR'AN yang pendek dapat menjadi terapi untuk anak penderita
autis sebagai terapi penyembuhan penderita autis.
Bila melakukan terapi
pada pagi hari :
1. Lakukanlah
senam sujud dan berdiri dengan membaca surat surat pendek dalam AL QUR'AN agar
tercipta kebahagiaan pada anak.
2. Air mineral galon yang di minum untuk anak
bacakanlah surat AL FATIHA dan SURAT AN NAS setiap pagi sore 100x,usahakan anak
penderita autis lebih banyak minum minimal 11 gelas tiap hari.
3. Lakukanlah pengurutan pada badan anak dengan
minyak urut yang juga harus anda bacakan AL FATIHA 100X. agar anak tersebut
dapat hilang lelah-letih dan stresnya seminggu 3x
4. Konsumsi anak harus diperhatikan terhindar
dari kimia.
5. Membaca
dan melatih anak anak untuk membaca huruf AL QUR'AN dengan ayat ayat yang
pendek. semua agar energi dari anak anak tersebut dapat tersalurkan dan
membantu perbaikan dalam saraf saraf anak anak tersebut. ikuti pula saran dan
petunjuk para pakar penyakit autis atau bimbingan dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar