Kamis, 17 November 2011

Makalah Autisme


Bab 1
Pendahuluan

  1.1            Latar belakang

Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita laki- laki lebih besar dibandinhgkan penderita wanita. Meskipun demikian, bila kaum wanita mengalaminya, maka penderitaanya akan lebih parah dibandingkan kaum pria. Gejala- gejala autisme mulai tampak sejak masa yang paling awal dalam kehidupan mereka. Gejala- gejala tersebut tampak ketika bayi menolak sentuhan orang tuanya, tidak merespon kehadiran orang tuanya, dan melakukan kebiasaan- kebiasaan lainya yang tidak dilakukan oleh bayi- bayi pada umumnya.
Ketika memasuki umur dimana mereka seharusnya mulai mengucapkan beberapa kata, misalnya ayah, ibu, dan seterusnya, balita tidak mampu melakukannya. Di samping itu, ia juga megalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan yang lainnya. Inilah waktu yang tepat bagi orang tua untuk mulai menyadari bahwa ada kelainan yang dialami anak mereka.
Biasanya balita tersebut sudah mengalami keterlambatan perkembangan kemampuan selama 3 tahun ketika dikonsultasikan ke dokter oleh orang tuanya karena mengalami gejala- gejala autisme sampai kemudian dia didiagnosis mengidap autisme oleh dokter tersebut, dan diagnosis ini umum diberikan ketika balita itu sudah memasuki umur 5 tahun. Usia dari seseorang anak juga berpengaruh terhadap tingkat keparahan yang tampak dari gangguan itu.
Bila mengevaluasi kebiasaan penderita autisme, kita juga harus mempertimbangkan usia mereka. Pada usia 2- 5 tahun, mereka cenderung memiliki kebiasaan yang sangat buruk, tetapi tatkala menginjak usia 6- 10 tahun, perilaku mereka akan membaik. Tetapi, perilaku mereka akan cenderung memburuk kembali saat mereka memasuki usia remaja serta dewasa, dan selanjutnya akan kembali membaik seiring dengan bertambah tuanya usia mereka.
Sebagian besar penderita autisme mengalami gejala- gejala negatif skizofrenia, seperti menarik diri  dari lingkungan, serta lemah dalam berpikir ketika menginjak dewasa.

1.2 Rumusan masalah 
1.      Apa autisme itu ?
2.      Apa penyebab autis ?
3.      Faktor resiko apa yang akan muncul ?
4.      Apa sajakah terapi autisme ?
5.      Bagaimana pandangan dan terapi autisme menurut islam ?

1.3 Tujuan
1.      Mengetahui apa autisme itu
2.      Menganalisis apa penyebab autisme
3.      Mengobservasi faktor resiko yang akan timbul
4.      Mengerti beberapa terapi untuk autisme
5.      Meninjau pandangan islam tentang dan bagaimana terapi autisme
 1.4 Manfaat 
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui autisme
2.      Agar mahasiswa dapat memberikan terapi secara medis dan islami







Bab  II
PEMBAHASAN

2.1  Apa itu Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. 
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).
Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1

 2.2 Penyebab autis pada anak
 Orangtua yang punya anak autis  sering dibayangi terus menerus oleh pertanyaan ‘kenapa harus anak saya?’. Meski banyak kemungkinan seorang anak terkena autis, tapi banyak orang tua yang tidak terima anaknya menderita autis.
“Beberapa orang tua terus mencari tahu jawaban pertanyaan tersebut dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tapi mereka tetap tidak terima anaknya terkena autis,” ujar Patricia Robinson,terapis ADHD, autis dan Asperger’s sindrom seperti dilansir CNN, Senin (8/2/2010).
Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur 1 tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.
“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.
Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.
“Banyak orang tua yang terbangun tengah malam dan terus mencari tahu jawaban untuk teka-teki yang sebenarnya tidak perlu mereka cari tahu. Cukup menerimanya dengan lapang dada bisa menghilangkan pertanyaan yang terus menghantui tersebut,” kata Dr Judith.
Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.
Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Namun faktor genetik, lingkungan yang terpapar merkuri atau logam berat, pestisida atau antibiotik yang berlebihan diduga sebagai penyebabnya.

2.3  Intervensi dini
Apakah autisme dapat disembuhkan? Pertanyaan ini selalu dilontarkan oleh orang tua penyandang. Autisme merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala- gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi sampai awam tidak bisa membedakan mana anak autis, mana anak autis.
     Semakin dini terdiagnosis dan terintervensi semakin besar kesempatan untuk “sembuh”. Penyandang autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak ketara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyuarakat luas. Namun gejala yang ada pada setiap anak sangat bervariasi, dari yang terberat sampai teringan. “ Kesembuhan” dipengaruhi oleh berbagai faktor : gejalanya ringan, kecerdasan cukup (50 % lebih penyandang autisme mempunyai kecerdasan kurang), cukup cepat dalam belajar berbicara (20 % penyandang autisme tetap tidak bisa berbicara sampai dewasa), usia (2-5 tahun), dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan intensif.
                        Tidak jarang seorang penyandang autisme sangat ringan dengan taraf kecerdasan normal dapat mengalami perkembangan yang baik tanpa terapi apapun. Saat dewasa, ia tidak berbeda dengan teman- temanya yang tidak autistik.
Intervensi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Yang penting, berusaha merangasanganak secara intensif sedini mungkin pada usia 2- 5 tahun, sehingga ia mampu keluar dari “dunia” nya.
2.4  Pola penanaganan terpadu
     Penanganan terpadu harus secepat mungkin dilaksanakan bila diagnosis autisme sudah terbentuk.
     Meskipun kelalailan yang ada diotak tidak dapat disembuhkan, namun dengan pola penanganan terpadu dan intensif, gejala- gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga diharapkan bisa berbaur dan hidup mandiri dengan masyarakat normal.
Keberhasilan terapi tergantung dari beberapa faktor :
*      Berat atau ringannya gejala
*      Umur
*      Kecerdasan
*      Bicara dan berbahasa
*      Intensitas dan terapi

Berbagai jenis jenis terapi yang harus dijalankan secara terpadu mencakup :
ü  Terapi medikamentosa
ü  Terapi wicara
ü  Terapi perilaku
ü  Pendidikan khusus
ü  Terapi okupasi (bila perlu)
Setiap anak sebaiknya mendapatkan evaluasi yang lengkap dari dokter  dan para terapisnya, kemudian diberikan kurikulum indivdual berdasarkan kemampuan anak dalam setiap bidangnya.
Namun, terapi perilaku harus tetap diterapkan disamping terapi- terapi yang lain. Karena bila perilaku anak tidak sesuai dengan norma masyarakat, ia akan sulit diterima di masyarakat secara normal.
A.    Terapi medikamentosa
Dahulu, sebelum penyebab gangguan autisme diketahui, pengobatan pun agak sulit dan simpang siur. Obat- obatan yang dipakai lebih banyak ditujukan untuk menekan gejala- gejala tertentu saja, misalnya menekan hiperaktivitas yang ada, menekan agresivitas yang bisa membahayakan dirinya maupun orang disekitarnya, mengobati gejala- gejala tambahan seperti kejang dsb.
Saat ini, pengobatan lebih tertuju untuk mencoba memperbaiki komunikasi, memperbaiki komunikasi, memperbaiki respons terhadap lingkungan dan menghilangkan perilaku yang aneh dan diulang-ulang. Namun, karena gangguan yang terjadi itu didalam otak, maka obat- obatan yang dipakai tentusaja obat- obatan yang bekerja di otak, yaitu yang sering di pakai oleh psikiater.
Obat- obat yang ada di indonesia adalah dari jenis anti depresan SSRI (Selectiv Serotonim Reuptake Inhibator) dan benzodiazepin seperti misalnya fluexetine (prozae), sertralin (zoloft) dan risperidon (risperdal). Risperdal menunjukkan efek yang sangat baik, dimana dalam dosis kecilpun ia bisa secara efektif memperbaiki respon anak terhadap lingkungan. Namun, obat- obat lamapun seperti haloperidol, imipramin (trofanil), dan thioridazine (melleril) masih bisa dipakai.


B.     TERAPI WICARA

Terapi wicara adalah suatu keharusan autisme, karena semua penyandang autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan anak lain. Terapi sebaiknya dibekali dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala-gejala dan gangguan bicara yang khas dari para penyandang autisme.
C.    TERAPI PERILAKU
Berbagai jenis terapi perilaku telah dikembangkan untuk mendidik penyandang autisme, mengurangi perilaku yang tidak lazim, dan menggantinya dengan perilaku yang bisa di terima dengan masyarakat.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masnyarakat. Bukan saja gurunya yang bisa melakukan terapi perilaku pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga dirumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi penyandang.
D.    PENDIDIKAN KHUSUS
Pendidikan khusus adalah pendidikan individual yang terstruktur bagi para penyandang  autisme. Pada pendidikan khusus, diterapakan sistem satu guru untuk satu anak. Sistem ini paling efektif karena mereka tak mungkin dapat memusatkan perhatiannya dalam suatu kelas yang besar.
Untuk penyandang autisme yang ringan sebaiknya di sekolahkan ke kelompok bermain atau STK normal, dengan harapan anak bisa belajar bersosialisasi. Untuk penyandang sedang atau berat sebaiknya di berikan pendidikan individual dahulu, setelah mengalami kemajuan secara bertahap ia bisa dicoba di masukkan kedalam kelas dengan kelompok kecil, misalnya 2-5 anak perkelas.
Setelah lebih maju lagi, baru anak ini di coba di masukkan kedalam kelompok bermain atau STK kelas normal. Namun sebaiknya, jenis terapi yang lain terus dilanjutkan.


E.            TERAPI OKUPASI
Sebagian penyandang autisme mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila di banding dengan anak-anak lain seumurnya. Anak-anak ini perlu di beri bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot halusnya bisa terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya bisa anak menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya.
2.5  Penanganan autisme menurut islam
     Penangana autisme menurut islam, bisa dengan menggunakan surat- surat pendek dalam AL QURAN. Khususnya surat AL-FATIHA.
·         Autis pada anak dengan terapi surat AL FATIHAH
Surat surat pada AL QUR'AN yang pendek dapat menjadi terapi untuk anak penderita autis sebagai terapi penyembuhan penderita autis.
Bila melakukan terapi pada pagi hari :
1.      Lakukanlah senam sujud dan berdiri dengan membaca surat surat pendek dalam AL QUR'AN agar tercipta kebahagiaan pada anak.
2.       Air mineral galon yang di minum untuk anak bacakanlah surat AL FATIHA dan SURAT AN NAS setiap pagi sore 100x,usahakan anak penderita autis lebih banyak minum minimal 11 gelas tiap hari.
3.       Lakukanlah pengurutan pada badan anak dengan minyak urut yang juga harus anda bacakan AL FATIHA 100X. agar anak tersebut dapat hilang lelah-letih dan stresnya seminggu 3x
4.       Konsumsi anak harus diperhatikan terhindar dari kimia.
5.      Membaca dan melatih anak anak untuk membaca huruf AL QUR'AN dengan ayat ayat yang pendek. semua agar energi dari anak anak tersebut dapat tersalurkan dan membantu perbaikan dalam saraf saraf anak anak tersebut. ikuti pula saran dan petunjuk para pakar penyakit autis atau bimbingan dokter.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar