BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan
otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua.
Sindrom
klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an
miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar.
Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada
perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram
menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris
melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan
kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk
mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
Miastenia
gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun
miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40
tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di
Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli
menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak
pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat
kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh
insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara
drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi
spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok
untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun
pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Miastenia Gravis itu?
2.
Apa sajakah klasifikasi Miastenia Gravis?
3.
Apa penyebab atau etiologinya?
4.
Bagaimana manifestasi klinis Miastenia Gravis?
5.
Apa terapi yang harus diberikan pd px MG?
6.
Bagaimana keadaan krisis yang terjadi pada px
MG?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definiisi MG
2. Untuk mengetahui dan mengerti klasifikasi MG
3. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit MG
4. Mengetahui gejala-gejala yang terjadi pada
px MG
5. Untuk mengetahui terapi apa saja yang
diberikan dengan MG
6. Agar bisa
memberikan edukasi kpd penderita sebelum terjadinya krisis.
1.4 MANFAAT
a.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah (KMB 1)
b.
Sebagai bahan diskusi pada Mata Kuliah KMB 1
c.
Sebagai refrensi dan investasi perpustakaan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot
yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang
merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan
lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari
normal). http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang
menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah¹.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi
sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuskular².
2.2. Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat
dibagi menjadi3:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun
menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena.
Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai
gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh
otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih
nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan
tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas
pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot
rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap
obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling
sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia
gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap
obat dan prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal
pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah1:
1. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya
kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia
gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi
antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama
dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah
bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin
tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.
4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori
diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang
terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang
dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering
kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran
kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami
kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal
dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali
penderita mengeluh mulutnya kering.
6. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia
gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian
terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan
bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik,
plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati
arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita
menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara
perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri
anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari
ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam
waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering
menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food).
Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak
disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam
sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan
disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens
selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot
pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat
biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita
mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
2.3. Etiologi
Kelainan primer pada miastenia gravis
dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neouromoscular junction, yaitu
penghubung antar unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron
terdapat partikel- partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin atau
(Ach). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi
dengan ACh reseptor ( AChR ) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka
saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama
Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neuromoskuler
pada miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada miastenia gravis
terdapat kekurangan Ach atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori
terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
2.4. Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf
mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps
mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan
permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika
EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang
tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi
serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi,
astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate
motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat
reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan
postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya
ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah
asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor
end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot
tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia
gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu
kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien
menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus,
sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot
dipergunakan terus-menerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan
oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita
miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka
memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat
infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di
jaringan limfoster lainnya².
2.5. Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor
asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering
bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi
penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas
yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh
yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai
kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala
kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati
kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan
otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan
ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis
dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).
Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam.
Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama
kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh
dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.
Pada
pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot
okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot
levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih
bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya
terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan
dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot
wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII
bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis
palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini
dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan
suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut
yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada
tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga
kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut
otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan,
tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi³.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari
adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien
tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat
diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.
Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya
selama kehamilan, fluktuasi selama siklus
haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi
saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami
kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air
soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan
otot, dan obat-obat lainnya3.
2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan
sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien
melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk
kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis,
dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini
meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70%
penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya
penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated
muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90%
penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis.
Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada
antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat
kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase.
Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor
asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara
secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada
efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg
tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat
dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas
vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit.
Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat
diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom
miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa
dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses
patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah
meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang
penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau
patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan
lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat
dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak
jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu
benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia
gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg
atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif
apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
2.7. Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per
oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam.
Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak
menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat
dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara
dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin
0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase
sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat
dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan
semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongan IIA dan IIB.
Efek
samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi
pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling
sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling
(alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10
mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi
sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis
sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara
selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis
awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin
ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar
diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis
minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif,
juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan
dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim
hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8
minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan
sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan
timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.
Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya
pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi
paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak
3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang
jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian
obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian
belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang
baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis
mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi
pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus
kronik.
2.8. Krisis Pada Miastenia Gravis
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam
krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara
adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana
dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada
kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi.
Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan
plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap
mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak
diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah
krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali
dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang
diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan
karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga
dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit
dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu
sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap
obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah
sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara
waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila
perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena
secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin
gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian
antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan
plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut
dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan
sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau
bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS
A.
PENGKAJIAN
1)
Biodata
Nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, dan lain-lain.
2)
Keluhan Utama
Lemah otot setelah peraktivitas
3)
Riwayat Penyakit Sekarang
Klien pada umumnya merasakan kelelahan dan kelemahan pada anggota
tubuh tertentu :
P :Apa penyebab atau faktor pencetus
Q : Seberapa sering pasien merasakan sakitnya
R : Pada daerah mana pasien meeasakan sakitnya
S : Seberapa paeah sakit yang dieasakan pasien
T : Kapan atau sejauh mana terjadinya keluhan
4)
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien dulunya pernah menderita penyakit gagal pernafasan.
5)
Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang
sama dengan klien.
6)
Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a)
Makan dan minum
Makan : klien pada umumnya mengalami disfagia dan
anorexia
Minum : frekuensi, jenis, jumlah
b)
Istirahat tidur
Berapa jam perhari, klien tidur dan apakah ada gangguan.
c)
Eliminasi BAK dan BAB
BAK : pada umumnya mengalami inkotinensia
BAB : pada umumnya klien mengalami konstipasi
d)
Aktifitas
Kelelahan dan kelemahan meningkat setelah beraktifitas dan membaik
atau menurun pada saat istirahat.
7)
Pemeriksaan Fisik
1.
- Keadaan umum :
- Tingkat kesadaran :
- GCS :
- TTV :
TD : ………… mmHg
N : ………… x/menit
S : ………… oC
RR : ………… x/menit
2. Pengkajian persistem
FSistem integumen
Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan
rambut dan kuku.
FSistem penginderaan
Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya
lesi.
FSistem pernafasan
Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
FSistem cardiovaskuler
Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
FSistem pencernaan
Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
FSistem perkemihan
Biasanya mengalami inkontinensia urine
FSistem muskuluskeletal
Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.
Pemeriksaan
1.
Test
Anti kolinestensi (uji tensilon)
2.
X-Ray
Thorax
3.
CT
Scan
4.
Elektromiografi
Diagnosa Keperawatan
1.
Resiko
tinggi terjadinya gagal nafas b/d kelemahan otot-otot pernafasan
2.
Gangguan
mobilitas fisik b/d menurunnya otot-otot neuromuskular
3.
Gangguan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran mengunyah dan menelan
4.
Resiko
terhadap konstipasi yang berhubungan dengan imobilitas gizi tidak adekuat
5.
Resiko
terhadap ketakutan dan ansietas yang berhubungan dengan penyakit kritis,
paralysis ketidak mampuan untuk berkomunikasi dan ketidakpastian di masa depan.
INTERVENSI
Diagnosa
Keperawatan I : Resiko
tinggi terjadinya gagal nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernafasan
Tujuan : Klien mudah untuk bernafas
Kriteria : - Nafas lancar
- Tidak terjadi kelainan nafas (bunyi nafas :
ronchi, wheezing)
Intervensi :
1.
Kaji
status pernafasan dengan sering
R/ : untuk
mendeteksi masalah-masalah sebelum timbul perubahan dalam kadar gas darah
arterial
2.
Berikan
terapi fisik dada termasuk drainase posturan, memobilisasi lendir dan
penghisapan
R/ : untuk membuang dan membersihkan lendir
3.
Auskultasi
bunyi nafas, catat ada atau tidaknya bunyi, suara tambahan seperti ronkhi,
wheezing
R/ : peningkatan
resistensi jalan nafas dan atau akumulasi sekret akan menganggu proses difusi
gas dan akan mengarah pada komplikasi pernafasan
4.
Tinggikan
kepada tempat tidur letakkan pasien pada posisi duduk
R/ : meningkatkan
ekspansi paru dan usaha batuk menurunkan kerja pernafasan
Diagnosa
Keperawatan II : Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan menurunnya otot-otot neuromuskular
Tujuan : Tidak adanya keterbatasan ruang gerak
Kriteria : - Klien mudah mobilisasi
- Otot-otot tidak kaku
- Mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
1.
Kaji
kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan
perkembangan / munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya rasa nyaman
2.
Beri
posisi yang memberikan rasa nyaman
R/ : menurunkan
kelelahan dan meningkatkan relaksasi
3.
Sokong
ekstremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan
ekstremitas dalam posisi fisiologis, mencegah kehilangan fungsi sendi
4.
Lakukan
latihan tentang gerak grafis
R/ : menstimulasi
sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
Diagnosa
Keperawatan III : Gangguan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran mengunyah dan menelan.
Tujuan : - Klien tidak kekurangan nutrisi
- Klien dapat mengunyah dan menular
Kriteria : - BB tidak turun
- 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x
sehari
Intervensi :
1.
Kaji
kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi
R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
sehingga klien harus terlindungi dari aspirasi
2.
Timbang
berat badan sesuai indikasi
R/ : mengevaluasi
keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
3.
Tinggikan
kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat selang NG
R/ : menurunkan
resiko regurgitasi dan waktu terjadinya aspirasi
4.
Berikan
makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering (3x sehari, 1 porsi)
dengan teratur
R/ : meningkatkan
proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama pasien saat makan
Diagnosa
Keperawatan IV : Resiko
terhadap konstipasi yang berhubungan dengan mobilitas gizi tidak adekuat
Tujuan : Mencegah konstipasi
Kriteria : - BB tidak menurun - Klien makan banyak
- Klien tidak anoreksia
Intervensi :
1.
Anjurkan
pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (tentunya jika pasien dapat
menelan)
R/ : Dapat melembekkan feses dan memfasilitasi eliminasi
2.
Berikan
privasi dan posisi fowler pada tempat tidur (jika memungkinkan) dengan jadwal waktu
secara teratur
R/ : Meningkatkan
usaha evakuasi feses
3.
Auskultasi
bising usus, catat adanya atau tidak adanya atau perubahan bising usus
R/ : Penurunan
atau hilangnya bising usus dapat merupakan indikasi adanya ileus paralitik yang
berarti hilangnya mobilitas usus dan/atau ketidakseimbangan elektrolit
4.
Catat
adanya distensi abdomen, yaitu tekan (otot abdomen yang lemas) ukur lingkar
perut sesuai kebutuhan
R/ : Dapat
mencerminkan perkembangan ileus paralitik atau adanya infeksi fekal
Diagnosa
Keperawatan V : Resiko
terhadap ketakutan dan ansietas yang
berhubungan dengan penyakit kritis, paralysis ketidakmampuan untuk
berkomunikasi dan ketidakpastian di masa depan
Tujuan : Memberikan rasa tenang akan penyakitnya
Kriteria : - Kx tidak cemas - Dapat istirahat
- Kx mampu mengendalikan diri
Intervensi :
1.
Tempatkan
klien dekat ruang perawat, periksa klien secara teratur, kaji kembali kemampuan
klien untuk menggunakan alat panggil lampu secara reguler
R/ : Memberikan
keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika klien secara tiba-tiba
menjadi tidak memiliki kemampuan
2.
Berikan
perawatan primer/hubungan staf perawat yang konsisten
R/ : Meningkatkan
saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan
3.
Berikan
bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan
R/ : Menurunkan
perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
Evaluasi
1.
Apakah
klien dapat bernafas dengan baik ?
2.
Apakah
klien beraktifitas tanpa harus merasa lelah ?
3.
Apakah
klien dapat menelan dan mengunyah ?
4.
Apakah
klien dapat bereliminasi dengan lancar ?
5.
Apakah
klien dapat berkomunikasi dan tidak merasa cemas lagi ?
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang
bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot yang bersifat progresif,
dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan.
Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan
reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskular akibat penyakit otoimun.
Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan
otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat.
Diagnosis miastenia gravis ditegakkan
berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang
terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet,
tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.
Pengobatan miastenia gravis adalah dengan
menggunakan obat-obat antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan
asetilkolin.
Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded.,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Howard, J.F., 1997, Department of Neurology,
The University of North Carolina at Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan
Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta
Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar
9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta
Murray,
R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K.
Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper 24th
ed., EGC, Jakarta
NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam
Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421, Dian Rakyat, Jakarta
Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis
Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390, 421, 576, Dian Rakyat,
Jakarta
Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And
Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th
ed., Little brown And Company, London
Tidak ada komentar:
Posting Komentar