Selasa, 15 November 2011

Makalah Miastenia Gravis




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  LATAR  BELAKANG 

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua.
Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm


1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Miastenia Gravis itu?
2.      Apa sajakah klasifikasi Miastenia Gravis?
3.      Apa penyebab atau etiologinya?
4.      Bagaimana manifestasi klinis Miastenia Gravis?
5.      Apa terapi yang harus diberikan pd px MG?
6.      Bagaimana keadaan krisis yang terjadi pada px MG?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definiisi MG
2. Untuk mengetahui dan mengerti klasifikasi MG
3. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit MG
4. Mengetahui gejala-gejala yang terjadi pada px MG
5. Untuk mengetahui terapi apa saja yang diberikan dengan MG
6. Agar bisa  memberikan edukasi kpd penderita sebelum terjadinya krisis.
1.4 MANFAAT
a.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah (KMB 1)
b.      Sebagai bahan diskusi pada Mata Kuliah KMB 1
c.      Sebagai refrensi dan investasi perpustakaan.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah¹.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular².
2.2. Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah1:
1. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.

4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.
6. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
2.3. Etiologi
Kelainan primer pada miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neouromoscular junction, yaitu penghubung antar unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel- partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin atau (Ach). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh reseptor ( AChR ) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neuromoskuler pada miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada miastenia gravis terdapat kekurangan Ach atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
2.4. Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya².
2.5. Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.
 Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi³.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus      haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.
2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit.
Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.


2.7. Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB.
 Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
2.8. Krisis Pada Miastenia Gravis
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:

1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.


BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS

A.    PENGKAJIAN
1)     Biodata
Nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, dan lain-lain.
2)     Keluhan Utama
Lemah otot setelah peraktivitas
3)     Riwayat Penyakit Sekarang
Klien pada umumnya merasakan kelelahan dan kelemahan pada anggota tubuh tertentu :
P :Apa penyebab atau faktor pencetus
Q : Seberapa sering pasien merasakan sakitnya
R : Pada daerah mana pasien meeasakan sakitnya
S : Seberapa paeah sakit yang dieasakan pasien
T : Kapan atau sejauh mana terjadinya keluhan
4)     Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien dulunya pernah menderita penyakit gagal pernafasan.
5)     Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien.
6)     Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a)     Makan dan minum
Makan  : klien pada umumnya mengalami disfagia dan anorexia
Minum : frekuensi, jenis, jumlah
b)     Istirahat tidur
Berapa jam perhari, klien tidur dan apakah ada gangguan.
c)     Eliminasi BAK dan BAB
BAK : pada umumnya mengalami inkotinensia
BAB : pada umumnya klien mengalami konstipasi
d)     Aktifitas
Kelelahan dan kelemahan meningkat setelah beraktifitas dan membaik atau menurun pada saat istirahat.
7)     Pemeriksaan Fisik
1.      -   Keadaan umum     :
-     Tingkat kesadaran      :
-     GCS                        :
-     TTV                        :
TD     : ………… mmHg
N       : ………… x/menit
S        : ………… oC
RR     : ………… x/menit     
2.   Pengkajian persistem
FSistem integumen
Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan rambut dan kuku.
FSistem penginderaan
Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
FSistem pernafasan
Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
FSistem cardiovaskuler
Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
FSistem pencernaan
Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
FSistem perkemihan
Biasanya mengalami inkontinensia urine
FSistem muskuluskeletal
Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.

Pemeriksaan
1.      Test Anti kolinestensi (uji tensilon)
2.      X-Ray Thorax
3.      CT Scan
4.      Elektromiografi
Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi terjadinya gagal nafas b/d kelemahan otot-otot pernafasan
2.      Gangguan mobilitas fisik b/d menurunnya otot-otot neuromuskular
3.      Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran mengunyah dan menelan
4.      Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan imobilitas gizi tidak adekuat
5.      Resiko terhadap ketakutan dan ansietas yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralysis ketidak mampuan untuk berkomunikasi dan ketidakpastian di masa depan.

INTERVENSI
Diagnosa Keperawatan I  :           Resiko tinggi terjadinya gagal nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernafasan
Tujuan : Klien mudah untuk bernafas
Kriteria         : - Nafas lancar
                - Tidak terjadi kelainan nafas (bunyi nafas : ronchi, wheezing)
Intervensi :
1.      Kaji status pernafasan dengan sering
R/ : untuk mendeteksi masalah-masalah sebelum timbul perubahan dalam kadar gas darah arterial
2.      Berikan terapi fisik dada termasuk drainase posturan, memobilisasi lendir dan penghisapan
R/ : untuk membuang dan membersihkan lendir
3.      Auskultasi bunyi nafas, catat ada atau tidaknya bunyi, suara tambahan seperti ronkhi, wheezing
R/  : peningkatan resistensi jalan nafas dan atau akumulasi sekret akan menganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernafasan
4.      Tinggikan kepada tempat tidur letakkan pasien pada posisi duduk
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk menurunkan kerja pernafasan

Diagnosa Keperawatan II  :         Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan menurunnya otot-otot neuromuskular
Tujuan : Tidak adanya keterbatasan ruang gerak
Kriteria         : - Klien mudah mobilisasi
                - Otot-otot tidak kaku
                - Mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
1.      Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan / munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya rasa nyaman
2.      Beri posisi yang memberikan rasa nyaman
R/  : menurunkan kelelahan dan meningkatkan relaksasi
3.      Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal
R/  : mempertahankan ekstremitas dalam posisi fisiologis, mencegah kehilangan fungsi sendi
4.      Lakukan latihan tentang gerak grafis
R/  : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi

Diagnosa Keperawatan III :         Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran mengunyah dan menelan.
Tujuan : - Klien tidak kekurangan nutrisi
                - Klien dapat mengunyah dan menular
Kriteria         : - BB tidak turun
                - 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x sehari
Intervensi :
1.      Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi
R/  : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga klien harus terlindungi dari aspirasi
2.      Timbang berat badan sesuai indikasi
R/  : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
3.      Tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat selang NG
R/  : menurunkan resiko regurgitasi dan waktu terjadinya aspirasi
4.      Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering (3x sehari, 1 porsi) dengan teratur
R/  : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan

Diagnosa Keperawatan IV :         Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan mobilitas gizi tidak adekuat
Tujuan : Mencegah konstipasi
Kriteria         : - BB tidak menurun                       - Klien makan banyak
                - Klien tidak anoreksia
Intervensi :
1.      Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (tentunya jika pasien dapat menelan)
R/  : Dapat melembekkan feses dan memfasilitasi eliminasi
2.      Berikan privasi dan posisi fowler pada tempat tidur (jika memungkinkan) dengan jadwal waktu secara teratur
R/  : Meningkatkan usaha evakuasi feses
3.      Auskultasi bising usus, catat adanya atau tidak adanya atau perubahan bising usus
R/  : Penurunan atau hilangnya bising usus dapat merupakan indikasi adanya ileus paralitik yang berarti hilangnya mobilitas usus dan/atau ketidakseimbangan elektrolit
4.      Catat adanya distensi abdomen, yaitu tekan (otot abdomen yang lemas) ukur lingkar perut sesuai kebutuhan
R/  : Dapat mencerminkan perkembangan ileus paralitik atau adanya infeksi fekal

Diagnosa Keperawatan V   :         Resiko terhadap ketakutan dan ansietas  yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralysis ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidakpastian di masa depan
Tujuan : Memberikan rasa tenang akan penyakitnya
Kriteria         : - Kx tidak cemas                            - Dapat istirahat
                - Kx mampu mengendalikan diri
Intervensi :
1.      Tempatkan klien dekat ruang perawat, periksa klien secara teratur, kaji kembali kemampuan klien untuk menggunakan alat panggil lampu secara reguler
R/  : Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika klien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan


2.      Berikan perawatan primer/hubungan staf perawat yang konsisten
R/  : Meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan
3.      Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan
R/  : Menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi


Evaluasi
1.      Apakah klien dapat bernafas dengan baik ?
2.      Apakah klien beraktifitas tanpa harus merasa lelah ?
3.      Apakah klien dapat menelan dan mengunyah ?
4.      Apakah klien dapat bereliminasi dengan lancar ?
5.      Apakah klien dapat berkomunikasi dan tidak merasa cemas lagi ?




BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
 Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan.
 Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskular akibat penyakit otoimun.
 Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat.
 Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.
 Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.


 DAFTAR PUSTAKA

 Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press, Yogyakarta
 Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
 Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta
 Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta
Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper 24th ed., EGC, Jakarta
 Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421, Dian Rakyat, Jakarta
 Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
 Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London


Tidak ada komentar:

Posting Komentar